Senin, Juli 29, 2013
Mudik: Perjalanan Katarsis
TIAP jelang lebaran Idul Fitri, pemberitaan ramai dengan info mudik. Seminggu sebelum hinggu seminggu setelah lebaran. Sudah seperti ritual tahunan. Yang mudik mungkin tidak sempat lagi mengikuti info mudik karena jadi pelaku mudik itu sendiri. Sementara yang tidak mudik, eneg dengan info mudik. Apa enaknya mudik?! Memang lebih baik tidak mudik. Mudik itu ribet. Susah. Menyesakkan. Mending menetap di kota, tidak kemana-mana saat jelang lebaran. Simple kan?! Eh tapi yang mau, sudah, atau selalu mudik, silahkan. Dinikmati saja. Mudik itu seru. Asyik.
Nah, jadi baik yang mana nih: mudik atau tidak mudik? Jawabanya: keduanya baik. Saya ingin berbagi cerita tentang apa yang baik di balik mudik. Harapannya sih bisa membantu cara pandang mereka yang tidak pernah mengalami mudik. Mohon maaf kalau (terlalu) jauh dari obyektif karena sejatinya setiap perjalanan itu memang subyektif. Selalu terselip romantisme di dalamnya, tidak terkecuali mudik.
Selasa, Juli 23, 2013
Pohon Umur
Krayon Pantai Kuta: Rifqah (Juli 2013) |
ULANG tahun saya baru saja berlalu.
Tanpa kue tart atau lilin yang banyaknya sejumlah usia (layaknya
adegan di film atau sinetron). Meski fisikawan seperti Stephen
Hawking pernah menulis buku bertajuk The History of Time, pada
dasarnya mengukur waktu itu suatu hal yang mustahil. Kita mengukur
waktu dengan cara yang sangat subyektif karena menjadikan diri kita
sebagai titik sentral penghitungan. Waktu kita yang ada sebenarnya
hanyalah saat ini. Masa lalu hanya kenangan. Masa depan hanya impian.
Begitu kata Kahlil Gibran. Anda percaya?
Cup! Subuh itu sebuah kecupan mendarat
di pipi kanan. Rifqah (8 thn), putri bungsu saya yang memberikannya.
Wajahnya masih seperti melawan kantuk. Saya sedang makan sahur sambil
menonton tv. Begitu juga kakak dan ibunya. Kejutan yang indah,
pikirku. Sejak flu dia tidak kami bangunkan sahur. Tapi tidak subuh
itu. Dia bangun sendiri hanya untuk memberi lukisan dan kartu ucapan
yang dia buat. Handmade. Owww.. saya tiba-tiba jadi begitu melankolis
dan berusaha menahan air mata haru. Dia punya cara sendiri rupanya
untuk memperhatikan ayahnya. Kalimat yang dia tulis dengan krayon
terasa seperti doa yang menyelimuti: Semoga Panjang Umur dan Sehat
Selalu. Doa itu kini berubah menjadi pertanyaan.
Selasa, Juli 02, 2013
Hutan Adat Pasca Putusan MK
PADA 16 Mei 2013 Mahkama Konstitusi
(MK) mengabulkan sebagian uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan. Pemohon yang berasal dari Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian
Kuntu, dan Kasepuhan Cisitu, menguji Pasal 1 Ayat 6, Pasal 4 Ayat
(3), Pasal 5 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4), serta Pasal
67 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) UU kehutanan atas UUD 1945. Dalam
Putusan tersebut, MK mengharuskan pengaturan berbeda antara hutan
negara dan hutan adat.
Terhadap hutan negara, negara memilik
kewenangan penuh dalam peruntukan, pemanfaatan dan hubungan hukum di
wilayah hutan negara. Sementara hutan adat, wewenang negara dibatasi
sejauh isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat yaitu hak ulayat
dalam satu kesatuan wilayah masyarakat hukum adat. Artinya, hutan
terbagi menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan hak. Untuk hutan,
hak dibedakan menjadi dua yaitu hutan adat (hak ulayat) dan hutan
perseorangan atau badan hukum. Pembagian itu untuk mencegah tumpang
tindihnya kepemilikan suatu hutan, atau tidak dimungkinkan hutan
negara berada di wilayah hutan hak dan begitu juga sebaliknya.
Langganan:
Postingan (Atom)