Sumber foto: beritakendari.com |
DENGAN Hak Inisiatifnya, DPR RI berencana mengajukan RUU Hak Atas Tanah dan RUU Penyelesaian Sengketa Agraria. Saat ini DPR sedang mengumpulkan sejumlah masukan untuk penyelesaian RUU tersebut. Benarkan RUU ini akan mampu menjawab masalah pertanahan khususnya yang saat ini sedang membelenggu masyarakat adat?
MENURUT laporan media lokal Kendari, pada Senin 9 April 2012 Ketua Komisi I DPR RI Drs. H. Kamaruddin, MH. berkunjung ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulawesi Tenggara. Agendanya meminta masukan untuk finalisasi proses penyusunan RUU Hak Atas Tanah dan RUU Penyelesaian Sengketa Agraria. Tidak ada rencana untuk merevisi UU Pokok Agraria (UUPA). Kedua RUU ini justru bertujuan untuk memperkuat kembali UUPA tersebut.
Kamaruddin berargumentasi, insiatif RUU Hak Atas Tanah dan RUU Penyelesaian Sengketa Angraria dilatarbelakangi banyaknya kasus sengketa tanah yang acap kali berujung konflik. Baik antara masyarakat yang bersengkata atau antara masyarakat dengan BPN. Di samping itu penyelesaian masalah pertanahan kerap terbentur dengan regulasi di berbagai sektor, terutama kehutanan. Pertumbuhan penduduk yang terjadi saat ini dinilai tidak diikuti oleh kebijakan terkait dengan perluasan area pengelolaan lahan masyarakat. Akibatnya, acap kali area pengolahan lahan masyarakat menjebol batas area kawasan hutan. Diharapkan kedua RUU ini dapat menjadi solusi atas masalah-masalah pertanahan yang selama ini terjadi (Kendari Ekspres: 10 April 2012).
Dari sejumlah argumentasi yang disampaikan di atas, tampak bahwa paradigma yang digunakan dalam menyusun RUU Hak Atas Tanah dan RUU Penyelesaian Sengketa Angraria tidak jauh berbeda dengan apa yang selama ini menjadi semangat UUPA: Dominasi Negara. Cirinya berupa subordinasi dan pengabaian sistem-sistem asli yang hidup dalam masyarakat. Misalnya ketika terjadi konflik, hak masyarakat adat yang bermukim di suatu kawasan harus patuh pada apa yang secara sepihak diklaim oleh Negara sebagai hutan. Meski telah merdeka lebih dari setengah abad, posisi tawar masyarakat tetap tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada masa kolonial.
Tulisan ini ingin memaparkan pendapat Danel Fitzpatrick atas tanah adat di Indonesia dalam perspektifnya sebagai ahli hukum asing. Fitzpatrick adalah peneliti dan Associated Professor bidang hukum di Australian National University. Ia juga adalah periset paruh waktu di Van Vollenhoven Institute for Law, Governance and Development of Leiden University (2004 - 2006). Fitzpatrick telah banyak menulis hukum pertanahan dan pembangunan di Negara Ketiga.